Padang, Serasinews.com– Di balik deretan hotel mewah yang berdiri megah di Kota Padang, tersimpan potensi pendapatan daerah yang belum tergarap maksimal. Ketua Komisi II DPRD Kota Padang, Rachmad Wijaya, menyoroti rendahnya penerimaan pajak air tanah yang dinilai tidak sebanding dengan potensi sebenarnya, terutama dari sektor perhotelan.
Menurut Rachmad, terdapat ketimpangan mencolok antara jumlah air tanah yang digunakan dengan besaran pajak yang dibayarkan sejumlah hotel yang mengandalkan sumur bor.
“Bapenda harus bekerja lebih teliti. Jangan hanya mengandalkan laporan di atas meja, tapi benar-benar memastikan berapa banyak air yang dipakai dan seberapa besar pajak yang seharusnya dibayar,” tegasnya, Selasa (29/10).
Potensi Besar, Realisasi Masih Rendah
Data Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Padang hingga Agustus 2025 mencatat, penerimaan pajak air tanah baru mencapai Rp2,06 miliar dari 263 wajib pajak terdaftar.
Jika dirata-ratakan, setiap wajib pajak hanya berkontribusi sekitar Rp7,8 juta per tahun. Bahkan, ada yang hanya membayar Rp6.110, sementara tertinggi mencapai Rp157,6 juta.
Perbedaan yang sangat jauh ini, kata Rachmad, menunjukkan adanya ketimpangan dan kelemahan pengawasan.
“Hanya sebagian kecil wajib pajak yang menyumbang besar. Artinya ada potensi kebocoran PAD yang perlu diselidiki,” ujar politisi Partai Gerindra itu.
Hotel Tak Langganan PDAM, Tapi Pajak Air Tanah Rendah
Rachmad juga menyoroti perbedaan antara dua hotel besar di Padang: Hotel Pangeran Beach dan ZHM Premiere Hotel.
Hotel Pangeran Beach diketahui masih berlangganan PDAM dengan tagihan sekitar Rp47 juta per bulan, dan tetap membayar pajak air tanah Rp53,6 juta hingga Agustus 2025.
Sementara itu, ZHM yang tidak menggunakan PDAM sama sekali, justru hanya membayar pajak air tanah Rp31,8 juta.
“Ini janggal. Aktivitas hotel sama-sama tinggi, tapi pajaknya jauh berbeda. Kami akan turun langsung untuk memastikan data di lapangan,” kata Rachmad.
Verifikasi Lapangan Jadi Kunci
Ketua Komisi II menilai, Bapenda tidak boleh hanya mengandalkan data administratif. Ia mendesak agar petugas melakukan pemeriksaan langsung ke lapangan untuk memverifikasi sumber air yang digunakan, terutama oleh hotel, restoran, dan laundry besar.
“Kalau tidak pakai PDAM, berarti seluruh airnya dari tanah. Maka pajaknya pun harus sepadan dengan pemakaian,” ujarnya.
Ia juga mengungkap adanya wajib pajak yang membayar nominal sama bertahun-tahun, yang bisa menjadi indikasi data tidak diperbarui atau wajib pajak fiktif.
“Kalau sistem dibiarkan, PAD dari air tanah akan terus stagnan,” tegasnya.
Lebih dari Sekadar Pendapatan
Rachmad mengingatkan, pajak air tanah bukan hanya soal pendapatan, tapi juga tanggung jawab terhadap lingkungan. Penggunaan air tanah berlebihan tanpa pengawasan bisa menyebabkan penurunan muka air tanah dan merusak ekosistem.
“Ini bukan sekadar soal uang, tapi kelestarian sumber daya alam. Kalau dibiarkan, dampaknya bisa serius bagi lingkungan,” jelasnya.
Ia meminta Pemko Padang memperkuat koordinasi antarinstansi, memperbarui basis data wajib pajak, dan menerapkan teknologi pemantauan debit air seperti meter digital.
“Kita ingin pengelolaan yang transparan dan akurat. Rendahnya penerimaan pajak air tanah ini harus jadi alarm bagi pemerintah kota,” ujarnya.
Potensi Tersembunyi untuk PAD Padang
Dengan pengawasan dan sistem yang lebih baik, sektor pajak air tanah diyakini dapat menambah puluhan miliar rupiah bagi kas daerah setiap tahun.
Namun, selama data masih lemah dan pengawasan longgar, potensi itu akan terus bocor.
Komisi II DPRD Padang berjanji akan terus memantau kinerja Bapenda dan menjadwalkan inspeksi lapangan ke sejumlah hotel besar dalam waktu dekat.
“Rendahnya PAD bukan karena potensi kecil, tapi karena pengawasan yang longgar. Jika ditertibkan, pendapatan daerah bisa melonjak signifikan,” pungkas Rachmad Wijaya.
(Rini/Mond)
#DPRDPadang #PajakAirTanah #Padang #BapendaPadang


Posting Komentar