Serasinews.com,Sumatera Barat – Di ruang pendingin RS Bhayangkara Padang, deretan kantong jenazah tersusun rapi seperti barisan sunyi yang menunggu untuk dipulangkan. Di balik plastik dingin itu, puluhan anak—yang beberapa hari lalu masih bermain di halaman rumah mereka—kini terbaring tanpa nama. Banjir bandang yang menerjang Sumatera Barat bukan hanya merenggut nyawa, tetapi juga menghapus jejak identitas.
Tim DVI berpacu dengan waktu yang terus mengecil. Wajah-wajah mungil itu telah kehilangan bentuk yang bisa dikenali. Lumpur, arus deras, dan waktu bekerja bersama menghapus tanda-tanda terakhir yang mungkin bisa dikenali keluarga.
“Sebagian besar korban adalah anak-anak. Sidik jari tidak bisa digunakan karena belum berkembang sempurna. Secara visual juga sudah sangat sulit,” ujar Ps. Kepala RS Bhayangkara Padang, dr. Harry Andromeda, Selasa (2/12), dengan suara yang mencoba menahan berat suasana.
Di meja antemortem, lembar-lembar laporan orang hilang masih kosong. Belum ada satu pun data yang sesuai dengan 25 jenazah kecil berstatus Mr. X—atau lebih tepatnya Little X—anak-anak yang belum ditemukan oleh siapa pun.
“Kemungkinan orang tua mereka juga menjadi korban. Tidak ada yang datang mencari, dan itu menghentikan proses identifikasi,” tambah Harry.
DNA: Upaya Terakhir
Ketika wajah tak lagi dikenali dan sidik jari tak bisa digunakan, DNA menjadi harapan terakhir. Gigi, tulang, hingga jaringan tubuh diambil dengan hati-hati, seolah petugas sedang merawat sisa-sisa identitas yang masih tersisa.
Namun langkah itu pun terbentur hambatan besar. DNA tak berarti tanpa pembanding. Tanpa keluarga, tidak ada data yang bisa dicocokkan.
“Semua sampel sudah kami kumpulkan, tetapi tanpa pembanding, proses identifikasi tidak bisa dilanjutkan,” tegas Harry.
Di ruang lain, petugas DVI terus menatap formulir-formulir kosong—tempat seharusnya nama seorang anak bisa kembali dituliskan untuk terakhir kalinya.
Imbauan untuk Warga: Datang ke RS atau Posko DVI
Satu-satunya harapan kini tertuju pada masyarakat. Siapa pun yang kehilangan anak, cucu, keponakan, atau kerabat kecil diminta segera mendatangi RS Bhayangkara Padang atau posko DVI di wilayah masing-masing.
Setetes darah, sehelai rambut, atau sampel air liur bisa menjadi kunci untuk membawa seorang anak kembali pada identitasnya.
Kendala Baru: Ruang Pendingin Terbatas
Di tengah semua upaya, RS Bhayangkara menghadapi persoalan lain: keterbatasan ruang pendingin. Ruangan yang hening dan dingin itu terlalu kecil untuk menampung begitu banyak duka.
“Kami hanya memiliki empat ruang pendingin. RS M Djamil dua, RS Unand dua. Sisanya kami titipkan. Bahkan kami mendapat bantuan mobil boks pendingin dari Dinas Pertanian,” kata Harry, menggambarkan situasi di mana rumah sakit berubah menjadi tempat penampungan duka yang tak pernah diduga.
Jenazah-jenazah kecil itu kini tersebar di beberapa fasilitas kesehatan, menunggu seseorang datang membawa kembali nama yang pernah mereka dengar sebelum tidur: ibu, ayah, nenek, atau siapa saja yang pernah menggenggam tangan mereka.
(Rini/Mond)
#BanjirSumbar #BencanaAlam #SumateraBarat #BanjirBandang


Posting Komentar