Serasinews.com,Jakarta — Duka masih menyelimuti Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara setelah banjir bandang dan longsor melanda sejak 24 November 2025. Hingga Jumat (12/12), BNPB melaporkan 995 korban meninggal dunia, bertambah lima jiwa dibanding sehari sebelumnya.
“Total sementara menunjukkan 995 jiwa meninggal dunia di tiga provinsi,” ujar Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, dalam konferensi pers daring.
Jumlah warga hilang turut meningkat menjadi 226 orang, sementara jumlah pengungsi tetap di angka 884.889 jiwa—menjadikannya salah satu krisis kemanusiaan terbesar Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir.
Potensi Penurunan Jumlah Korban: Verifikasi Data Temukan Banyak Ketidaksesuaian
Meski mendekati angka seribu, BNPB menyatakan jumlah korban kemungkinan akan menurun seiring verifikasi data yang kini dilakukan lebih ketat pada level kecamatan bersama Dukcapil.
Verifikasi by name by address menemukan sejumlah kejanggalan:
Sebagian jenazah berasal dari area pemakaman, bukan korban bencana.
Beberapa nama yang tercatat meninggal ternyata wafat sebelum bencana.
Ditemukan data ganda serta identitas yang keliru dalam laporan awal.
Mulai besok, BNPB memperkirakan sejumlah kabupaten mulai menggunakan data resmi catatan sipil, menggantikan laporan manual dari lapangan.
Mengapa Banjir di Sumatera Begitu Parah? Tiga Faktor Utama Penyebabnya
Para ahli mengidentifikasi tiga faktor kunci yang membuat bencana ini sangat destruktif:
1. Aktivitas Atmosfer Tinggi di Puncak Musim Hujan
Sumatera utara berada di fase puncak musim hujan dengan dua puncak curah hujan dalam setahun.
Curah hujan >150 mm/hari merupakan kondisi normal.
Beberapa stasiun BMKG mencatat >300 mm/hari, setara banjir besar Jakarta 2020.
2. Pengaruh Siklon Tropis Senyar
Pada 24 November, muncul vortex di Semenanjung Malaysia yang berkembang menjadi Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka.
Siklon ini memperkuat hujan ekstrem melalui:
peningkatan uap air,
penguatan awan konvektif,
perluasan cakupan hujan.
3. Kerusakan Lingkungan & Perubahan Tutupan Lahan
Penurunan tutupan vegetasi memperburuk kemampuan tanah menyerap air.
Menurut pakar geospasial ITB, Heri Andreas, banjir besar terjadi ketika daerah yang dahulu menyerap air—seperti hutan—berubah menjadi:
permukiman,
perkebunan intensif,
atau lahan terbuka.
Akibatnya, air hujan mengalir sebagai limpasan cepat, memicu banjir hanya dalam beberapa jam. Heri juga menyoroti bahwa peta bahaya banjir Indonesia belum sepenuhnya akurat, sehingga perencanaan tata ruang berbasis risiko masih lemah.
Ujian Berat bagi Sistem Kebencanaan Indonesia
Bencana di Sumatera menjadi peringatan bahwa Indonesia masih sangat rentan terhadap kombinasi cuaca ekstrem dan degradasi lingkungan.
Tim SAR terus bekerja menyisir puing dan aliran sungai, berupaya menemukan ratusan warga yang belum ditemukan.
Di sisi lain, pemerintah menghadapi pekerjaan besar:
memperbaiki data, memulihkan lingkungan, dan memperkuat mitigasi jangka panjang.
Meski jumlah korban mungkin berubah setelah verifikasi, tragedi ini telah meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Sumatera—sekaligus menjadi alarm keras bagi seluruh Indonesia.
(L6)
#BNPB #UpdateKorbanBencanaSumatera #BencanaSumatera


Posting Komentar