Serasinews.com, Padang – Asap hitam pekat menembus langit sore Kota Padang, Selasa (4/11/2025). Suara sirene meraung menembus riuh kepanikan warga di tepi Banjir Kanal, Kelurahan Alai Parak Kopi, Kecamatan Padang Utara. Dalam hitungan menit, api membungkus deretan bangunan semi permanen—laundry, warung, dan bengkel—yang berdiri saling menempel di tepian kanal itu.
Di balik kobaran api yang menggila, dua nyawa tak sempat menyelamatkan diri. Inen Irawati (40) dan anaknya, Ravi (20), ditemukan tewas terpanggang—terjebak di dalam bangunan yang menjadi saksi bisu akhir kehidupan mereka.
Ujian Nyata “Padang Sigap”
Laporan kebakaran masuk pukul 13.40 WIB. Tanpa jeda, Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) Kota Padang langsung bergerak. Lima unit mobil pemadam dan 65 personel dikerahkan hanya dalam lima menit. Jalur sempit, padat, dan panas tak menyurutkan langkah mereka.
“Begitu laporan diterima, tim langsung meluncur. Situasi padat, api cepat membesar. Kami harus berpacu dengan waktu agar tak merembet ke rumah warga,” tutur Rinaldi, Kepala Bidang Operasi dan Sarana Prasarana Damkar Kota Padang, suaranya tegas tapi terselip nada duka.
Ledakan keras dari arah bengkel memecah udara. Percikan api menjalar ke tumpukan bahan mudah terbakar. Dalam sekejap, kobaran menjalar cepat, menelan segalanya.
“Bangunannya semi permanen, penuh bahan yang mudah terbakar. Api langsung menggila. Kami berusaha evakuasi korban, tapi asap dan panas membuat segalanya gelap,” katanya dengan mata sayu.
Jeritan di Tengah Bara
Saksi mata, Dio (28), masih terguncang mengingat momen itu.
“Saya baru pulang. Tiba-tiba BOOM!—suara ledakan keras. Pas keluar, api udah tinggi banget dari bengkel. Semua orang lari, teriak-teriak, bawa ember seadanya. Panik luar biasa,” katanya dengan suara bergetar.
Warga berhamburan, sebagian mencoba menyelamatkan barang, sebagian lagi hanya bisa menatap rumah mereka terbakar hidup-hidup. Api menjalar ke atap, meledakkan tabung gas, menciptakan kobaran merah yang menyilaukan mata.
Dalam hiruk pikuk itu, petugas Damkar berlari menembus asap, mengguyur dari segala arah. Satu jam kemudian, nyala api berhasil dijinakkan—namun yang tersisa hanyalah puing, arang, dan dua tubuh tanpa nyawa.
Jenazah Inen dan Ravi dievakuasi ke RS Bhayangkara Padang. Warga yang mengenal mereka hanya bisa menunduk, menahan sesak di dada.
Padang Sigap: Antara Kecepatan dan Pengorbanan
Program “Padang Sigap”, kebanggaan Pemko Padang, kembali diuji di tengah bencana ini. Prinsipnya sederhana tapi berat: cepat, tepat, tanggap.
Dan kali ini, prinsip itu menyelamatkan puluhan rumah di sekitar kanal dari amukan api.
“Setiap kali kami berangkat, kami sadar: bisa jadi nyawa kami taruhannya. Tapi kalau kami lambat, lebih banyak nyawa yang hilang,” ujar Rinaldi lirih, matanya menerawang ke arah reruntuhan hangus.
Duka yang Tak Mudah Padam
Menjelang senja, lokasi kebakaran berubah jadi lautan abu. Bau plastik, minyak, dan arang masih menusuk hidung. Sisa air pemadaman bercampur dengan jelaga membentuk lumpur hitam di tanah.
“Inen itu orang baik, tak pernah pelit, suka bantu tetangga. Ravi… anaknya rajin, penurut. Mereka nggak pantas pergi secepat itu,” tutur seorang warga dengan mata berkaca-kaca.
Polisi kini menyelidiki penyebab pasti kebakaran. Namun bagi warga Alai Parak Kopi, jawaban teknis itu takkan menghapus luka. Api telah padam, tapi duka masih membara di hati mereka.
Lebih dari Sekadar Kebakaran
Kebakaran di tepi Banjir Kanal bukan sekadar peristiwa. Ia adalah cermin rapuhnya hidup di tengah kota yang sesak—tempat setiap percikan bisa berubah jadi neraka.
Butuh satu jam bagi petugas untuk menaklukkan si jago merah.
Namun bagi keluarga korban, waktu itu terasa selamanya—karena di menit-menit itulah, dua nyawa terenggut dari pelukan mereka.
Dan di antara puing yang masih hangus, semangat “Padang Sigap” terus menyala—menjadi pengingat bahwa di balik setiap tragedi, selalu ada keberanian, dedikasi, dan air mata yang jatuh tanpa suara.
(Rini/Mond)
#Peristiwa #Kebakaran #Padang


Posting Komentar