Serasinews.com, Jakarta — Gelombang banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat sejak 24 November 2025 kini tercatat sebagai salah satu bencana paling mematikan dalam 20 tahun terakhir.
Hingga Minggu (7/12/2025) pukul 08.20 WIB, BNPB melaporkan 916 korban jiwa, sementara 274 orang masih hilang. Data ini bersumber dari Dashboard Penanganan Banjir dan Longsor Sumatra yang diperbarui berkala.
“Update per 7 Desember 2025: meninggal 916 jiwa, hilang 274 jiwa, terluka 4,2 ribu jiwa,” tulis BNPB dalam keterangannya.
Kerusakan Fisik Meluas: Infrastruktur Lumpuh di Banyak Titik
Skala kerusakan membuat sejumlah wilayah praktis terisolasi. BNPB mencatat:
1.300 fasilitas umum rusak
420 rumah ibadah terdampak
199 fasilitas kesehatan tak berfungsi optimal
234 gedung pemerintahan rusak
697 fasilitas pendidikan terdampak
405 jembatan rusak atau putus
105.900 rumah rusak dari ringan hingga total
Kerusakan ini memutus rantai transportasi dan distribusi, membuat proses evakuasi serta pengiriman bantuan berlangsung sangat lambat.
Korban Terus Bertambah
Pada hari sebelumnya (6/12), korban meninggal berada di angka 914 jiwa. Dalam konferensi pers, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari menjelaskan sebaran korban:
Aceh: 359 jiwa
Sumatra Utara: 329 jiwa
Sumatra Barat: 226 jiwa
Ia menegaskan bahwa operasi pencarian masih berlangsung nonstop, namun medan ekstrem dan cuaca buruk menjadi tantangan terbesar.
Penyebab Bencana: Kombinasi Cuaca Ekstrem & Degradasi Lingkungan
Para ahli menilai besarnya dampak bencana ini merupakan hasil dari tumpang-tindih faktor atmosfer dan kerusakan lingkungan.
1. Curah Hujan Ekstrem & Aktivitas Atmosfer Tinggi
Ketua Prodi Meteorologi ITB Muhammad Rais Abdillah menjelaskan bahwa Sumatra utara sedang berada pada puncak musim hujan, dengan intensitas yang mencapai 300 mm/hari di beberapa titik.
Pembentukan Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka turut meningkatkan konsentrasi awan hujan, diperkuat fenomena lain seperti cold surge vortex dan sistem awan skala meso.
2. Lingkungan yang Rusak Tidak Lagi Menyerap Air
Dosen ITB Heri Andreas menegaskan bahwa perubahan fungsi lahan membuat wilayah tersebut kehilangan kemampuan alami untuk meresapkan air.
Daerah yang dahulu berhutan kini berubah menjadi area permukiman, perkebunan, hingga lahan terbuka—menyebabkan air hujan langsung mengalir ke sungai dengan volume besar.
3. Berkurangnya Ruang Tampung Alami
Rawa, hutan rawa, dan dataran banjir—yang seharusnya menjadi penahan air—telah banyak berubah fungsi. Kondisi ini membuat wilayah tak mampu menahan tekanan air saat hujan ekstrem datang.
Situasi Pengungsian: Minim Logistik, Akses Terbatas
Ribuan warga bertahan di tenda pengungsian yang penuh sesak. Air bersih terbatas, obat-obatan menipis, dan penyakit infeksi mulai muncul di kalangan anak-anak.
Sejumlah lokasi hanya dapat dijangkau melalui udara, menggunakan helikopter BNPB dan TNI.
Seruan Ahli: Tata Ruang Sumatra Harus Dievaluasi Total
Para pakar mendesak pemerintah untuk melakukan pembenahan besar-besaran terkait:
pengelolaan DAS,
tata ruang berbasis risiko,
pemulihan vegetasi,
serta peningkatan sistem peringatan dini.
“Jika perubahan lahan tak dikendalikan, bencana serupa hanya menunggu waktu,” ujar Heri.
Banjir dan longsor ini bukan sekadar musibah akibat curah hujan ekstrem; ini adalah cerminan rapuhnya ekosistem dan tata ruang.
Upaya pencarian masih berlangsung, dan kemungkinan jumlah korban terus bertambah.
Pesan para ahli jelas: memperbaiki lingkungan dan tata ruang bukan lagi opsi—melainkan kebutuhan mendesak.
(L6)
#BNPB #UpdateKorbanBanjirSumatera
#BencanaAlam


Posting Komentar