Serasinews.com, Jakarta — Sebuah langkah hukum yang tidak biasa kembali mengetuk pintu Mahkamah Konstitusi (MK). Bukan sengketa pemilu, bukan pula konflik antar lembaga negara. Kali ini, yang diuji adalah relasi paling mendasar dalam demokrasi: hubungan rakyat dengan wakilnya di parlemen, yang selama ini dianggap timpang dan terlalu dikendalikan oleh partai politik.
Lima mahasiswa—Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna—mengajukan uji materi terhadap UU Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3), khususnya Pasal 239 ayat (2) huruf d yang mengatur bahwa hanya partai politik yang dapat mengusulkan pemberhentian anggota DPR.
Bagi mereka, ini bukan sekadar gugatan tekstual. Ini upaya mengembalikan kedaulatan yang, menurut mereka, “hilang” setelah pemilu selesai.
“Permohonan a quo ini tidak lahir dari kebencian terhadap DPR maupun partai politik. Ini bentuk kepedulian agar sistem perwakilan kita membaik,” ujar Ikhsan di hadapan MK, Selasa (18/11/2025).
Akar Masalah: Rakyat Memilih, Tapi Tak Bisa Mengontrol
Ketentuan yang digugat para mahasiswa memberikan posisi eksklusif kepada partai politik sebagai satu-satunya pihak yang dapat menarik mandat anggota DPR melalui mekanisme recall.
Dalam praktiknya, partai sering mencopot anggota bukan karena pelanggaran etika atau kinerja buruk, melainkan karena konflik internal atau sikap politik yang tidak sejalan dengan elite partai. Sementara itu, rakyat—yang memilih langsung wakilnya—tidak punya saluran hukum untuk meminta pemberhentian sekalipun wakil tersebut tidak bekerja, tidak responsif, atau mengingkari janji kampanye.
Situasi ini, menurut pemohon, melahirkan ironi demokrasi: pemilu hanya menjadi ritual lima tahunan tanpa mekanisme koreksi.
Setelah terpilih, anggota DPR kerap lebih patuh pada arahan partai dibanding mandat konstituennya. Rakyat pun kehilangan posisi tawar.
Kerugian Konstitusional: Suara Rakyat Terputus
Para mahasiswa menilai bahwa hak konstitusional mereka sebagai pemilih dirugikan. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk memastikan wakilnya tetap setia pada amanat rakyat.
Jika seorang anggota DPR gagal bekerja atau terjerat masalah etika, masyarakat tidak punya mekanisme formal untuk menuntut pertanggungjawaban. Sebaliknya, partai politik memiliki wewenang penuh—yang sering digunakan demi kepentingan internal.
Kondisi ini, menurut mereka, bertentangan dengan prinsip:
Kedaulatan rakyat
Partisipasi warga dalam pemerintahan
Persamaan di hadapan hukum
Demokrasi tidak boleh berhenti setelah surat suara masuk kotak.
Tuntutan Berani: Berikan Hak “Recall” kepada Konstituen
Dalam petitum, pemohon meminta MK menafsirkan ulang Pasal 239 ayat (2) huruf d agar tidak hanya partai politik yang berhak mengusulkan pemberhentian, tetapi juga konstituen.
Usulan mereka: “Diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Jika dikabulkan, ini akan menjadi reformasi politik besar: untuk pertama kalinya, rakyat memiliki alat hukum untuk menarik kembali mandat anggota DPR yang dianggap tidak layak.
Perkara ini tercatat dengan nomor 199/PUU-XXIII/2025, dengan sidang pendahuluan pada 4 November 2025 dan sidang perbaikan permohonan pada 17 November 2025.
Pertanyaan Besar: Akankah MK Membuka Pintu “Recall oleh Rakyat”?
Gugatan ini berpotensi menjadi tonggak baru dalam demokrasi Indonesia. Penguatan kontrol rakyat atas parlemen dapat mengganggu dominasi partai politik yang selama ini mengatur mati hidup karier legislator.
Namun tantangannya tidak kecil. Perubahan ini akan mengusik tatanan kekuasaan yang selama bertahun-tahun mapan.
Akankah MK mengambil langkah progresif?
Ataukah gugatan ini akan berakhir seperti banyak upaya reformasi politik lain: menguap tanpa jejak?
Apa pun hasilnya, gugatan para mahasiswa ini telah menghidupkan kembali diskursus esensial:
demokrasi bukan hanya memilih—tetapi juga mengawasi dan mengoreksi.
Mungkin inilah momen ketika rakyat bisa kembali memegang kendali atas mandat yang mereka berikan.
(T)
#UUMD3 #Nasional #DPR #Parlemen


Posting Komentar